KHASANA BASALO SANGKAP
Basalo Sangkap secara harpiah diartikan Babasal (besar) atau orang
besar yang berkuasa. Dalam arti lain Basalo diartikan sebagai yang
empunya tanah (negeri). Sedangkan Sangkap dalam Bahasa Banggai berarti
empat. Jadi jika diartikan secara umum maka Basalo Sangkap adalah empat
besar yang berkuasa, punya negeri dan punya rakyat yang diperintah.
Posisi Basalo Sangkap sebelum pemerintahan modern terbentuk pada abad
ke-16, yaitu sama dengan raja-raja kecil yang ada di nusantara waktu
itu. Seperti Kerajaan Bualemo, Motindak, Gori-gori, Poso dan lain
sebagainya. Namun perbedaannya, keempat raja-raja kecil yang ada di
Pulau Banggai ini mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu di satu sisi seorang
raja yang berkuasa dan mempunyai rakyat serta wilayah kekuasaan yang
jelas dan disisi lain mereka berposisi sebagai legislatif (Dewan
Kerajaan) yang mengangkat dan memberhentikan raja serta memberi nasehat
dan pertimbangan kepada raja. Posisi sebagai Dewan Kerajaan ini mulai
dilakoni pada saat Adi Soko datang ke Banggai hingga masa akhir Kerajaan
Banggai yaitu sejak H. Syukuran Amir menyerahkan kedaulatan Kerajaan
Banggai kepada NKRI tanggal 12 Desember 1959.
Keempat Basalo Sangkap tersebut terdiri dari :
1. Basalo Katapean berkedudukan di Monsongan
2. Basalo Singgolok berkedudukan di Gonggong
3. Basalo Boobulau di Dodung
4. Basalo kokini di Tano Bonunungan.
Menurut Goedhart, tugas dari Basalo Sangkap ialah :
a. Bersama-sama dengan Kumis-4 (Kumis Sangkap) membuat pencalonan raja baru, kapitan laut, jogugu dan beberapa pejabat lainnya.
b. Mendamaikan perselisihan yang mungkin timbul antara raja dan Kumis-4.
c. Memberi nasehat dalam perkara-perkara pemerintahan mengenai rakyat di luar pulau Banggai.
d. Bersama-sama dengan Kumis-4 mendamaikan perselisihan antara kepala
daerah (Saat itu Pemerintahan Banggai memiliki 7 Kadipaten/Kabupaten)
dimana saja.
e. Memelihara hubungan antara keluarga-kelurga kerajaan dan rakyat, memelihara kewibawaan.
f. Menghadiri rapat yang setiap lima tahun diadakan di Banggai untuk
membicarakan berbagai perkara pemerintahan dan agama yang penting yang
mencangkup seluruh Landschap.
Dari keempat raja kecil ini (Basalo)
telah ditentukan tempatnya di empat wilayah (desa) namun sesungguhnya
keempat desa tersebut membawahi desa-desa sekitarnya. Seperti Basalo
Boobulau membawahi wilayah Dodung sampai ke perbatasan Kendek. Begitupun
untuk Basalo Kokini, Singgolok dan Katapean, masing-masing mempunyai
desa bawahan disamping empat wilayah (desa) tempat mereka berkedudukan.
Jika
sampai pada hari ini Basalo Sangkap masih ada dengan empat wilayah yang
tetap di klaim sebagai tempat mereka berkedudukan, namun kedudukan
Basalo Sangkap makin kecil dan terpinggirkan dalam tata pemerintahan
Indonesia. Jangankan wilayah ikutan, keempat desa yaitu Monsongan,
Gonggong, Dodung dan Tano Bonunungan tempat mereka berkuasa hari ini
telah mempunyai lurah dan kepala desa sendiri sehingga banyak kalangan
yang mempertanyakan posisi Basalo Sangkap. Dimana wilayah mereka? Dimana
rakyat mereka? Masihkah rakyat/masyarakat di empat wilayah tersebut
patuh pada perintah Basalo Sangkap? Sementara mereka telah mempunyai
lurah dan kepala desa sendiri yang harus diikuti peraturannya dalam tata
pemerintahan Indonesia.
Jika sampai saat ini Basalo Sangkap yang
ada belum memahami perubahan yang telah terjadi, maka pada akhirnya
nanti Basalo Sangkap akan tinggal cerita. Ada tapi tak punya eksistensi.
Wilayah berubah, zaman berubah, tidak
ada yang bisa kekal dihadapan perubahan. Basalo Sangkap secara
kewilayahan dan angkat mengangkat raja mungkin bisa pupus. Tapi ada hal
yang tak lekang di makan zaman, Basalo Sangkap telah meletakan
sendi-sendi dasar demokrasi di Banggai sejak Zaman Tano Bolukan hingga
kini. Sendi-sendi demokrasi itulah yang membuat Banggai terkenal di
nusantara bahkan di seantero dunia. Banggai tidak mengenal sistem putera
mahkota, itulah yang membedakan Banggai dengan kerajaan/negara lain
pada saat itu hingga kini. Artinya bahwa demokratisasi sudah tertanam
dengan baik di Banggai sejak zaman Basalo Sangkap eksis.
Karenanya,
pada hari ini eksistensi Basalo Sangkap sesungguhnya bukan lagi pada
faktor kewilayahan, Pakaian kebesaran dan tugas Kebasaloan, tapi pada
falsafah demokratisasi ala Banggai yang telah terperlihara berabad-abad
hingga hari ini. Bahkan falsafah demokratisasi ala Banggai ini sedang di
gali oleh beberapa sejarawan dan peneliti karena hal ini menjadi
penunjang gerak masyarakat Indonesia dan bahkan dunia yang sedang krisis
kompromi, krisis berbagi dan bahkan krisis kepercayaan. Falsafah dasar
demokratisasi yang dibangun dengan tradisi Basalo Sangkap telah eksis
beberapa abad dan terbukti telah mengantarkan Tano Bolukan (Banggai)
pada kejayaannya. Karenanya, falsafah Basalo Sangkap layak menjadi
khasana nusantara dan bahkan dunia.
Goedhart, Drie Landschappen, hal 445.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar