Sabtu, 30 November 2013

KHASANA BASALO SANGKAP

Basalo Sangkap secara harpiah diartikan Babasal (besar) atau orang besar yang berkuasa. Dalam arti lain Basalo diartikan sebagai yang empunya tanah (negeri). Sedangkan Sangkap dalam Bahasa Banggai berarti empat. Jadi jika diartikan secara umum maka Basalo Sangkap adalah empat besar yang berkuasa, punya negeri dan punya rakyat yang diperintah.
Posisi Basalo Sangkap sebelum pemerintahan modern terbentuk pada abad ke-16, yaitu sama dengan raja-raja kecil yang ada di nusantara waktu itu. Seperti Kerajaan Bualemo, Motindak, Gori-gori, Poso dan lain sebagainya. Namun perbedaannya, keempat raja-raja kecil yang ada di Pulau Banggai ini mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu di satu sisi seorang raja yang berkuasa dan mempunyai rakyat serta wilayah kekuasaan yang jelas dan disisi lain mereka berposisi sebagai legislatif (Dewan Kerajaan) yang mengangkat dan memberhentikan raja serta memberi nasehat dan pertimbangan kepada raja. Posisi sebagai Dewan Kerajaan ini mulai dilakoni pada saat Adi Soko datang ke Banggai hingga masa akhir Kerajaan Banggai yaitu sejak H. Syukuran Amir menyerahkan kedaulatan Kerajaan Banggai kepada NKRI tanggal 12 Desember 1959.
Keempat Basalo Sangkap tersebut terdiri dari :
1. Basalo Katapean berkedudukan di Monsongan
2. Basalo Singgolok berkedudukan di Gonggong
3. Basalo Boobulau di Dodung
4. Basalo kokini di Tano Bonunungan.

Menurut Goedhart, tugas dari Basalo Sangkap ialah :
a. Bersama-sama dengan Kumis-4 (Kumis Sangkap) membuat pencalonan raja baru, kapitan laut, jogugu dan beberapa pejabat lainnya.
b. Mendamaikan perselisihan yang mungkin timbul antara raja dan Kumis-4.
c. Memberi nasehat dalam perkara-perkara pemerintahan mengenai rakyat di luar pulau Banggai.
d. Bersama-sama dengan Kumis-4 mendamaikan perselisihan antara kepala daerah (Saat itu Pemerintahan Banggai memiliki 7 Kadipaten/Kabupaten) dimana saja.
e. Memelihara hubungan antara keluarga-kelurga kerajaan dan rakyat, memelihara kewibawaan.
f. Menghadiri rapat yang setiap lima tahun diadakan di Banggai untuk membicarakan berbagai perkara pemerintahan dan agama yang penting yang mencangkup seluruh Landschap.
Dari keempat raja kecil ini (Basalo) telah ditentukan tempatnya di empat wilayah (desa) namun sesungguhnya keempat desa tersebut membawahi desa-desa sekitarnya. Seperti Basalo Boobulau membawahi wilayah Dodung sampai ke perbatasan Kendek. Begitupun untuk Basalo Kokini, Singgolok dan Katapean, masing-masing mempunyai desa bawahan disamping empat wilayah (desa) tempat mereka berkedudukan.
Jika sampai pada hari ini Basalo Sangkap masih ada dengan empat wilayah yang tetap di klaim sebagai tempat mereka berkedudukan, namun kedudukan Basalo Sangkap makin kecil dan terpinggirkan dalam tata pemerintahan Indonesia. Jangankan wilayah ikutan, keempat desa yaitu Monsongan, Gonggong, Dodung dan Tano Bonunungan tempat mereka berkuasa hari ini telah mempunyai lurah dan kepala desa sendiri sehingga banyak kalangan yang mempertanyakan posisi Basalo Sangkap. Dimana wilayah mereka? Dimana rakyat mereka? Masihkah rakyat/masyarakat di empat wilayah tersebut patuh pada perintah Basalo Sangkap? Sementara mereka telah mempunyai lurah dan kepala desa sendiri yang harus diikuti peraturannya dalam tata pemerintahan Indonesia. 
Jika sampai saat ini Basalo Sangkap yang ada belum memahami perubahan yang telah terjadi, maka pada akhirnya nanti Basalo Sangkap akan tinggal cerita. Ada tapi tak punya eksistensi. Wilayah berubah, zaman berubah, tidak ada yang bisa kekal dihadapan perubahan. Basalo Sangkap secara kewilayahan dan angkat mengangkat raja mungkin bisa pupus. Tapi ada hal yang tak lekang di makan zaman, Basalo Sangkap telah meletakan sendi-sendi dasar demokrasi di Banggai sejak Zaman Tano Bolukan hingga kini. Sendi-sendi demokrasi itulah yang membuat Banggai terkenal di nusantara bahkan di seantero dunia. Banggai tidak mengenal sistem putera mahkota, itulah yang membedakan Banggai dengan kerajaan/negara lain pada saat itu hingga kini. Artinya bahwa demokratisasi sudah tertanam dengan baik di Banggai sejak zaman Basalo Sangkap eksis.
 
Karenanya, pada hari ini eksistensi Basalo Sangkap sesungguhnya bukan lagi pada faktor kewilayahan, Pakaian kebesaran dan tugas Kebasaloan, tapi pada falsafah demokratisasi ala Banggai yang telah terperlihara berabad-abad hingga hari ini. Bahkan falsafah demokratisasi ala Banggai ini sedang di gali oleh beberapa sejarawan dan peneliti karena hal ini menjadi penunjang gerak masyarakat Indonesia dan bahkan dunia yang sedang krisis kompromi, krisis berbagi dan bahkan krisis kepercayaan. Falsafah dasar demokratisasi yang dibangun dengan tradisi Basalo Sangkap telah eksis beberapa abad dan terbukti telah mengantarkan Tano Bolukan (Banggai) pada kejayaannya. Karenanya, falsafah Basalo Sangkap layak menjadi khasana nusantara dan bahkan dunia.

Goedhart, Drie Landschappen, hal 445.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar